Jumat, 14 Juni 2013

Bukan Rico de Coro

             Sejak hari itu, aku selalu mengunjungi Sarah setiap malam. Tentu saja bukan bermaksud menghantuinya. Mana tega aku menakut-nakuti seseorang yang begitu kusayangi. Aku hanya terlampau rindu padanya. Untungnya, Tuhan mengabulkan permohonanku untuk bertemu Sarah setiap malam.
            Natalia semakin bingung. Ini bukan karena kelinci percobaan yang hilang, tetapi karena adik perempuannya, Sarah. Sarah memang sangat dekat dengan Natalia. Ia selalu menceritakan apapun kepada Natalia, mulai dari hal yang sangat penting hingga hal yang sangat tidak penting untuk diceritakan. Natalia tahu betul kalau adiknya sangat benci terhadap bangsaku, bangsa kecoak. Dan menjadi semakin aneh ketika Sarah setiap hari bercerita tentang pangerannya dalam mimpi. Pangeran yang katanya bernama Rico de Coro. Sebuah nama yang Sarah berikan untuk seekor kecoak tangkapan Bi Ipah.
            Aku memang hadir dalam mimpi-mimpi Sarah bukan sebagai kecoak. Aku hadir dalam wujud lain, wujud seorang manusia tampan bak pangeran kerajaan dalam negeri dongeng. Ah, seandainya hal itu bukanlah sebuah mimpi.
***
            Hari ini, aku diperbolehkan turun ke bumi. Rumah Sarah, tentu merupakan tujuan utama dan satu-satunya dalam perjalananku ke bumi ini. Sampai di bumi, aku langsung menyelinap ke kamar Sarah. Tunggu. Menyelinap? Untuk apa aku menyelinap. Bukankah tak ada lagi yang bisa melihat sosokku? Ah ya, aku bebas. Sarah tak akan menyadari keberadaanku. Aku begitu gembira.
            Kulihat Sarah sedang bernyanyi di depan cermin sambil menyisir rambutnya yang tergerai indah. Sarah menyanyikan lagu kesukaannya. Bagaimana aku bisa tahu bahwa lagu itu adalah lagu kesukaannya? Ah, aku hanya iseng menyimpulkan karena Sarah sering sekali menyanyikan lagu itu. Sudahlah, tidak penting itu lagu apa. Yang penting aku bisa melihat Sarah secara langsung, bukan dalam mimpi. Suaranya begitu merdu, mengalahkan pemenang ajang pencarian bakat manapun. Wajahnya begitu cantik, mengalahkan kecantikan pelangi selepas hujan. Ia sungguh seperti malaikat tak bersayap.
            Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu.
            “Masuk aja, nggak dikunci,” kata Sarah mempersilahkan masuk.
            Ternyata yang mengetuk pintu adalah Tante Haryanto.        
“Aduh, anak mamah cantik banget sih. Udah rapi lagi. Mau kemana?” tanya Tante Haryanto kepada Sarah
            “Mamah apaan sih, ngapain coba tanya-tanya. Kepo ya? Hahaha,” jawab Sarah meledek.
            “Kepo kan kamu tuh sukanya tidur terus,” jawab Tante Haryanto menimpali candaan Sarah.
            “Itu kebo Mamahku sayaaaaang,” jawab Sarah sambil menyemprotkan parfum ke bajunya. Harum sekali.
            “Hahaha, emang kamu mau kemana sih? Mamah serius nih tanyanya,” tanya Tante Haryanto memasang wajah serius.
            “Mau hang out, Mah. Sarah bosen di rumah, lagian ini kan malem minggu. Boleh kan Mah?” jawab Sarah.
            “Boleh, asal pulangnya jangan lewat jam setengah sepuluh ya. Kamu mau pergi sama siapa, Sayang?” tanya Tante Haryanto.
            “Sama.....,” belum selesai Sarah menjawab pertanyaan, bel rumahnya berbunyi.
            “Eh itu kayaknya temen Sarah udah jemput deh Mah. Sarah berangkat dulu ya,” pamit Sarah kepada Mamahnya.
            Tante Haryanto yang penasaran mengikuti Sarah yang berjalan terburu-buru ke ruang tamu.
            “Malam Tante,” sapa seorang pria sambil mencium tangan Tante Haryanto dan lekas pamit pergi.
            Deg. Aku begitu kaget. Siapa laki-laki itu? Apa dia........ Apa dia pacar Sarah? Aku sangat penasaran. Kuputuskan untuk mengikuti mereka. Aku terbang melesat menuju mobil merah yang terparkir di halaman rumah Sarah. Ternyata mereka menuju ke sebuah restoran di tepi pantai. Sungguh, tempat itu sangat romantis. Hatiku semakin tercekat melihat Sarah bergandengan tangan bersama laki-laki itu. Mereka berjalan menuju meja paling pojok yang sepertinya sudah di booking.
            “Sarah, kau cantik malam ini dan aku suka,” kata laki-laki itu terpesona menatap Sarah. Dia benar, seperti yang kukatakan tadi, Sarah cantik bagaikan malaikat. Dan aku......... Aku juga menyukainya! Lebih dari itu, aku mencintainya!
            Sarah tersipu malu, matanya berbinar-binar, pipinya memerah. “Apa sih kamu. Jadi malu nih. By the way, makasih ya, udah ngajakin aku ke sini. Aku suka banget sama tempatnya, romantis,” kata Sarah dengan wajah berseri-seri.
            “Apa sih yang enggak buat kamu. Emm... Maukah kau berdansa denganku, Putri Sarah?” kata laki-laki itu menyodorkan tangannya pada Sarah, berlagak romantis.
            “Tentu saja, Pangeran Rico,” jawab Sarah melengkungkan senyumnya yang begitu manis.
            Apa? Rico? Namanya Rico? Aku kaget bukan main. Ini benar-benar tak bisa kupercaya. Bagaimana bisa? Aku yang selama ini hadir dalam mimpi Sarah, menjelma menjadi seorang pangeran tampan. Mengapa mimpi itu menjadi nyata? Dan bukan aku pemerannya! Bukan aku yang berdansa bersama Sarah malam ini! Dalam kehidupan nyata. Bukan mimpi.
Aku terduduk lemas di meja makan. Masih memandangi Sarahku yang sedang berdansa bersama pangerannya, Pangeran Rico. Hatiku hancur berkeping-keping. Namun, melihat Sarah yang tampak begitu bahagia, bukankah itu sudah cukup bagiku? Ditambah lagi, sekarang tak ada perburuan kecoak di rumah Sarah. Bisnis Om Haryanto berhasil melewati krisis. Ikan arwananya berhak mendapatkan makanan yang lebih bergizi daripada kecoak. Selain itu, kini Sarah juga tak lagi menyuruh David, Natalia, atau Bi Ipah berburu kecoak. Semenjak Natalia bercerita bahwa aku menyelamatkannya dari racun Tuan Absurdo, Sarah tak lagi tega menyuruh orang-orang di rumahnya untuk membunuh kecoak, meskipun sebenarnya ia masih jijik melihat kecoak.
Semuanya sudah bahagia sekarang. Keluargaku sudah hidup tenteram dan Sarah sudah menemukan pangerannya sendiri. Kini saatnya aku kembali ke langit. Menatap mereka dari langit. Tersenyum bahagia melihat kebahagiaan mereka.

Ini tugas Bahasa Indonesia. Lanjutan dari Rico de Coro-nya Dee. Nggak tau deh ini cerita apa, nggak "bernyawa" juga. Ya maklum gue kan bukan penulis bro -_- wkwk 

14 Juni dan Kita


Pagi ini langit mendung meski belum ada bulir hujan yang jatuh. Persis seperti hati ini. Mendung itu belum pergi. Sejak perpisahan itu terjadi. Selama ini, hujan pun belum kunjung bertemu mentarinya. Belum ada pelangi yang mampu tercipta, tanpamu.

Apa kabarmu? Kamu pasti baik-baik saja kan? Aku pun baik-baik saja, lebih baik dari 14 Juni dua tahun lalu. Ah ya, kamu kan tidak menanyakan kabarku.

Aku boleh menyampaikan sesuatu? Begini, aku sedang berusaha menyederhanakan segalanya yang terasa rumit. Kamu tahu, ternyata tidak semudah itu menyederhanakan perasaan ini. Sungguh, jika sudah menyangkut hati, otakku terbelit untuk berpikir logis.Terkadang aku masih bertanya-tanya. Mengapa takdir mempertemukan kita? Mengapa aku harus jatuh cinta padamu, bahkan jatuh dalam cinta sedalam ini? Padahal aku tak pernah memintanya. Menyalahkan takdir, mungkin sederhananya seperti itu. Tapi Bang Tere Liye membuatku mengerti akan sesuatu lewat tulisannya dalam Rembulan Tenggelam di Wajahmu. Hidup ini adil. Segalanya memiliki sebab-akibat. Sederhana. Pertemuan dan perpisahan kita pun pasti memiliki sebab-akibat. Semuanya terjadi karena kuasa-Nya. Kamu juga pernah mengatakannya kan? Maka takdir tak seharusnya kusalahkan. Aku hanya belum sepenuhnya menemukan jawaban tentang mengapa kita harus bertemu. Mungkin suatu saat nanti aku akan sepenuhnya mengerti.

Kamu mungkin tak akan membaca tulisan ini. Tapi, sekiranya kamu sempat membacanya, semoga kamu membaca hingga akhir tulisan ini. Aku ingin katakan sesuatu yang tak berani kusampaikan langsung padamu. Aku rindu kamu.

Bersama langit yang kelabu,
14 Juni 2013

Kamis, 13 Juni 2013

Hujan Bulan Juni

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

-Sapardi Djoko Damono-